Akhir bulan Maret tahun ini ada kegiatan yang gak seperti biasanya, yaitu bersibuk-sibuk dengan yang namanya pajak. Kenapa rasanya kok ribet banget ya, padahal semua pajak penghasilan saya masih dibayar penuh oleh kantor, yang artinya saya hanya tinggal 'menyalin' isi formulir 1721 ke formulir 1770 dan kemudian menyerahkannya ke kantor pajak.
Tetap aja ribet, secara NPWP masih terpisah dengan punya suami, berarti di rumah saya juga bertugas mengisi form SPT milik suami saya, yang mana isinya lebih ruwet ketimbang milik saya :p.
Terasa ribet mungkin karena ini adalah kali pertama bagi kami, punya NPWP pribadi (yang masih terpisah karena bikinnya sendiri-sendiri, hihi...), melaporkan semua asset yang dimiliki (yang karena jumlahnya sedikit makanya terasa repot, soalnya kalo assetnya banyak bikin SPT pasti dibantuin konsultan :p), dan kemudian menyetorkannya di kantor pajak (haa.. itu bagian suami saya, karena SPT saya cuma tinggal di-drop dikantor).
Ada hal lain yang sangat terasa oleh saya saat berhadapan dengan form SPT tahunan. Saya teringat almarhum Ayah saya. Saat saya masih kecil, saya sering kali menemani beliau mengisi form SPT di meja kerjanya. Dengan teliti mengisi kotak demi kotak dengan tulisan beliau yang tegak sedikit miring ke kanan.
Setelah proses pelaporan dan pembayaran selesai, beliau akan menyimpan copy lembaran2 tsb. di laci lemari beliau yang paling atas untuk kemudian dikeluarkan kembali tahun depan sebagai acuan SPT berikutnya.
Soal simpan menyimpan di laci ini menjadi sebuah rekaman yang masih sangat jelas di kepala saya, mungkin karena saya sering mendapat mandat untuk mengambil dan menyimpan dokumen2 beliau.
Ketika saya semakin besar dan tulisan saya sudah dianggap bagus, saya pernah mendapat kehormatan untuk menyalin formulir tersebut sambil didiktekan oleh beliau.
Bayangkan, itu terjadi puluhan tahun lalu, dimana NPWP pribadi belum menjadi wajib dan ancaman bagi yang tidak melaporkan pajaknya belum ketat seperti sekarang ini.
Ayah saya tidak pernah menjadi pegawai kantor manapun yang bisa otomatis memotong penghasilannya dan memberikan form 1721 untuk disalin. Seumur hidupnya -dan ayahnya dan kakeknya dan buyutnya- hanya pekerjaan berdagang yang mereka kenal. Penghasilan Ayah saya dari perniagaannya juga sangat biasa-biasa saja sehingga mustahil bagi kantor pajak untuk tiba-tiba mengaudit kekayaannya.
Saya simpulkan, bahwa Ayah saya memang dengan kehendak dan kesadarannya sendiri bersusah-susah melaporkan pendapatannya yang tidak seberapa itu setiap tahun. Luar biasa? Ya, terutama bagi saya yang selalu 'negatif-thinking' sama pajak mengingat betapa sedikitnya hasil dari pajak itu yang kembali lagi kepada rakyat.
Menyesalnya saya tidak ingat percakapan kami waktu, karena pasti beliau pernah menjelaskan alasan dilakukannya semua kegiatan tahunan itu.
Baru saat ini -ketika saya merasa ribet hanya karena formulir pajak pribadi- saya menyadari betapa taat-pajaknya Ayah saya itu, betapa baik-hatinya beliau kepada negaranya :).
Tampaknya bakal berulang setiap bulan Maret, saya akan terkagum-kagum oleh kenangan yang satu ini.
30 Maret 2009
Miss you a lot, Pap...
Tetap aja ribet, secara NPWP masih terpisah dengan punya suami, berarti di rumah saya juga bertugas mengisi form SPT milik suami saya, yang mana isinya lebih ruwet ketimbang milik saya :p.
Terasa ribet mungkin karena ini adalah kali pertama bagi kami, punya NPWP pribadi (yang masih terpisah karena bikinnya sendiri-sendiri, hihi...), melaporkan semua asset yang dimiliki (yang karena jumlahnya sedikit makanya terasa repot, soalnya kalo assetnya banyak bikin SPT pasti dibantuin konsultan :p), dan kemudian menyetorkannya di kantor pajak (haa.. itu bagian suami saya, karena SPT saya cuma tinggal di-drop dikantor).
Ada hal lain yang sangat terasa oleh saya saat berhadapan dengan form SPT tahunan. Saya teringat almarhum Ayah saya. Saat saya masih kecil, saya sering kali menemani beliau mengisi form SPT di meja kerjanya. Dengan teliti mengisi kotak demi kotak dengan tulisan beliau yang tegak sedikit miring ke kanan.
Setelah proses pelaporan dan pembayaran selesai, beliau akan menyimpan copy lembaran2 tsb. di laci lemari beliau yang paling atas untuk kemudian dikeluarkan kembali tahun depan sebagai acuan SPT berikutnya.
Soal simpan menyimpan di laci ini menjadi sebuah rekaman yang masih sangat jelas di kepala saya, mungkin karena saya sering mendapat mandat untuk mengambil dan menyimpan dokumen2 beliau.
Ketika saya semakin besar dan tulisan saya sudah dianggap bagus, saya pernah mendapat kehormatan untuk menyalin formulir tersebut sambil didiktekan oleh beliau.
Bayangkan, itu terjadi puluhan tahun lalu, dimana NPWP pribadi belum menjadi wajib dan ancaman bagi yang tidak melaporkan pajaknya belum ketat seperti sekarang ini.
Ayah saya tidak pernah menjadi pegawai kantor manapun yang bisa otomatis memotong penghasilannya dan memberikan form 1721 untuk disalin. Seumur hidupnya -dan ayahnya dan kakeknya dan buyutnya- hanya pekerjaan berdagang yang mereka kenal. Penghasilan Ayah saya dari perniagaannya juga sangat biasa-biasa saja sehingga mustahil bagi kantor pajak untuk tiba-tiba mengaudit kekayaannya.
Saya simpulkan, bahwa Ayah saya memang dengan kehendak dan kesadarannya sendiri bersusah-susah melaporkan pendapatannya yang tidak seberapa itu setiap tahun. Luar biasa? Ya, terutama bagi saya yang selalu 'negatif-thinking' sama pajak mengingat betapa sedikitnya hasil dari pajak itu yang kembali lagi kepada rakyat.
Menyesalnya saya tidak ingat percakapan kami waktu, karena pasti beliau pernah menjelaskan alasan dilakukannya semua kegiatan tahunan itu.
Baru saat ini -ketika saya merasa ribet hanya karena formulir pajak pribadi- saya menyadari betapa taat-pajaknya Ayah saya itu, betapa baik-hatinya beliau kepada negaranya :).
Tampaknya bakal berulang setiap bulan Maret, saya akan terkagum-kagum oleh kenangan yang satu ini.
30 Maret 2009
Miss you a lot, Pap...