Udah lama pengen cerita tentang buku ini, aku bacanya di awal februari lalu. Bukunya beli, alias nggak minjem dari reading room kantor seperti biasanya, karena memang rekomendasi dari rekan pengurus reading room untuk beli buku ini, jangan pinjam. Kebetulan mau ada semacam acara jumpa penulis dengan penerbit & penulis buku ini, jadi ditawarin beli buku yang bertandatangan Andrea Hirata, penulisnya. Jadi tanpa bekal tau apapun tentang buku maupun penulisnya, aku setuju aja untuk beli. Memang udah beberapa kali kejadian begini, abis buku2 yang direkomendasikan bagus biasanya susah ditemukan di reading room karena terus-terusan dipinjam orang.
Ternyata memang nggak nyesel kok beli buku ini, aku udah dua kali tamat bacanya :-). Kayaknya aku ‘jatuh cinta’ sama Andrea Hirata. Setelah sekian lama terbiasa dengan alur dan gaya bahasa chicklit, buku ini jadi angin yang segaar banget. Sering aku termenung menerawang setelah membaca salah satu bab-nya sebelum lanjut ke bab berikutnya.
Biasanya aku teringat sama sekolah dasarku dikampung halaman dan masa-masa aku sekolah disana, walaupun kondisinya jauh lebih baik (karena sekolah negri kan masih dapat subsidi pemerintah) daripada sekolah kampungnya Laskar Pelangi yang bisa benar-benar ada hanya karena cinta dan pengabdian guru-gurunya.
Atau biasanya aku terus membayangkan indahnya pohon fillicium yang menaungi atap sekolah kampung, apalagi ketika pelangi tiba dan membayangkan sepuluh murid menduduki singgasananya masing-masing di dahan pohon menikmati pelangi. Pantas saja sang ibunda guru menamai mereka Laskar Pelangi.
Aku bisa tertawa terbahak-bahak ketika Andrea bercerita tentang suasana pelajaran kesenian sebelum ‘ditemukannya’ bakat Mahar sang seniman kampung belitong. Aku tertawa lebih karena kondisi kelas persis seperti pelajaran kesenian di sekolah-ku dulu.
Aku bisa ikutan bersemangat di bab tentang lomba kecerdasan se-belitong dimana untuk pertama kalinya sekolah kampung dengan kesederhanaannya ikutan sebagai peserta lomba dan berhasil menang telak menjadi juara.
Aku bisa nyaris menangis ketika Laskar Pelangi bersedih kehilangan si jenius Lintang yang harus berhenti sekolah tepat empat bulan sebelum ujian akhir smp dimulai.
Andrea Hirata, yang baru pertama kali menulis novel, mampu menjungkir balik perasaanku dengan bahasanya yang khas, melayu bangeet. Aku menanti novel berikutnya.
Friday, March 24, 2006
Laskar Pelangi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment