Naik metromini setiap hari saat berangkat ngantor memang selalu penuh dengan cerita. Seperti pengalaman kemarin pagi, lucu juga kalo diingat-ingat. Saya dapat tempat duduk persis disebelah seorang bapak-bapak yang membawa bungkusan besar di bawah kakinya. Perawakannya kecil, usianya saya tebak sekitar 50an. Sejak saya baru duduk dia sudah mulai bicara.
“Yang tadi baru turun itu (maksudnya orang yg sebelumnya duduk di kursi saya) orang padang, dia heran kok saya bisa bahasa padang, bahasa medan, bahasa jawa juga.... blabla dst.”
“Kalau orang yang sering merantau pasti bisa banyak bahasa, kalau orang di Jakarta
payah, cuma bisa satu bahasa. Saya di Medan lama.... blabla dst.”
Dia bercerita tentang keluarganya di Medan. Lengkap. Saya jadi tahu kalau dia punya anak tiga orang, yang besar sudah bekerja & menikah, yang kecil usianya 13 tahun.
“Pemerintah kita juga salah sih, pembangunan nggak merata, akibatnya.... blabla dst.”
“Adik kerja?” tanyanya, saya mengangguk saja, agak malas ngobrol pagi-pagi.
“hmmh…untung sudah kerja, kalau masih sekolah pasti repot, kasihan orang tuanya, sekolah sekarang mahal. Pemerintah nggak pernah mikirin rakyatnya. Kemarin anak saya mau masuk SMP saja.... blabla dst.”
Dia bercerita tentang beratnya menyekolahkan anak. Bapak ini ternyata seorang pedagang dari medan yang sekarang sedang ‘hunting’ barang dagangan di Jakarta.
“Adik lihat ini contoh dagangan saya (dia membuka bungkusan besar yg ada di kakinya, isinya sample bahan untuk gordin), kualitas nomor satu. Di Jakarta ini kalau nggak pintar-pintar pasti tertipu sama barang palsu. Barang-barang impor itu.... blabla dst.”
Kali ini saya panjang lebar diceritakan tentang tips trik perdagangan kain, yang sama sekali tidak saya mengerti.
“Setiap hari macet ya disini. Pasti capek nyetir mobil. Nyetir mobil itu gampang loh Dik, yang penting bisa menguasai gas dan rem, sama aja kayak naik motor.... blabla dst.”
Sekarang saya diajarkan cara nyetir mobil. Plus, cara memperbaiki mobil kalau tiba-tiba mogok.
“Service mobil juga gampang, pertama lihat aki-nya, yang kedua lihat businya, ketiga.... blabla dst”
Dia melanjutkan dengan cara menjahit dan memotong pola. Nggak nyambung kan.
“Kalau bisa menjahit tapi nggak bisa memotong percuma Dik.... blabla dst”
“harusnya jalan raya diperlebar ya. Tapi jangan main gusur rumah rakyat aja.... blabla”
“limbah industri makin parah mencemari.... blabla”
“u-em-er sangat rendah disini.... blabla”
“illegal logging dibiarkan saja.... blabla”
“kasihan para te-ka-we.... blabla”
Dia terdiam cukup lama (mungkin karena hari ini tanggal tiga belas? Saya nggak tau). Saya langsung pejamkan mata saya yang mengantuk. Feeling saya, dia sudah mulai akan bicara lagi tapi batal melihat saya ‘tidur’.
Tapi ternyata saya salah kalau berpikir dia akan diam apalagi ikut-ikutan tidur juga. Tiba-tiba dia bernyanyi. Catat: bernyanyi! bukan bersenandung. Semua syairnya sangat jelas di
telinga saya meskipun saya tidak tahu lagu apa yang dinyanyikannya.
Hmmh....nikmati saja. Saya tetap memejamkan mata meskipun tak bisa tidur, lumayan buat mengistirahatkan pikiran.
Ketika metromini sudah sampai lampu merah di daerah melawai, saya membuka mata, merapikan tas dan bersiap untuk turun karena terminal Blok M sudah kira-kira 200 meter lagi di depan. Eh, si bapak berhenti bernyanyi.
“Enak ya bisa Dik bisa tidur 15 menitan, lumayan juga. Kalau saya susah tidur pagi-pagi, biasanya saya.... blabla”
Oh my.... dia mulai lagi! :D
No comments:
Post a Comment