Dulu banget, kira-kira 25 tahun yang lalu waktu kelas satu SD, saya pernah divonis kena penyakit paru-paru basah oleh dokter. Penyembuhannya harus melalui injeksi satu kali sehari selama 30 hari. Iya 30 hari!. Setiap jam 9 pagi harus disuntik selama sebulan penuh gak boleh enggak.
Jadi waktu itu setiap hari almarhum ayah saya ‘menculik' saya dari sekolah untuk
dibawa ke rumah sakit dengan vespa kesayangannya. Setelah selesai disuntik saya ‘dikembalikan' lagi ke kelas dalam tempo tidak lebih dari satu jam mata
pelajaran. Begitu terus setiap hari kecuali hari minggu.
Ibu saya yang punya keterbatasan mobilitas :) mempercayakan wewenang itu secara penuh kepada ayah saya. Sampai saat ini saya masih ingat masa-masa itu. Setiap hari saya masuk ke ruangan suntik yang menyeramkan (setidaknya bagi anak usia 6 tahun seperti saya). Kadang melalui bujuk rayu dulu dari ayah saya kalau saya tiba-tiba ngambek karena kesal dan bosan.
Adegannya selalu begini; ayah saya duduk disebuah kursi dan saya berdiri sambil memeluk badannya dengan erat, memejamkan mata, siap menunggu suster datang membawa jarum suntik. Lalu suster bertanya "kemarin sebelah mana ya?" kalau ayah saya jawab "kanan" maka jarum suntik akan menancap di -maaf- pantat kiri saya. Huaa... dalam bayangan saya waktu itu, pasti bagian belakang tubuh saya itu penuh dengan lubang-lubang bekas suntikan :D.
Bayangkan senangnya saya ketika hari ke-30 tiba. Dan bayangkan betapa sedihnya saya ketika dokter bilang kalau suntikan harus ditambah 15 kali lagi setiap dua hari sekali!.
Rasanya belaian sayang ayah saya dikepala setiap kali acara rutin itu berlangsung masih sangat terasa. Sekaan air di pelupuk mata kalau saya menangis juga masih terasa. Kadang ada permen atau snack-snack kecil diselipkan disaku seragam saya sebelum saya kembali ke kelas. Semua nggak akan bisa dilupakan. (ahh.. miss you so much Pap!).
Sekarang, hal yang hampir serupa terjadi lagi. Sudah seminggu ini Haqqi setiap hari terapi ke rumah sakit diantar oleh ayahnya. Sama seperti ibu saya dulu,
keterbatasan mobilitas memaksa saya memberikan wewenang itu kepada suami saya :). Setiap jam istirahat kantor, suami saya pasti ada di rumah sakit bersama Haqqi (ditemani mbak Siti) menuntaskan terapi, mengantarkan Haqqi kembali ke rumah, lalu kembali lagi ke kantornya.
Awalnya jangan ditanya betapa khawatirnya saya ‘melepaskan' bayi delapan bulan itu ke tangan ayahnya. Soalnya sebelumnya Haqqi selalu diterapi di pangkuan saya, menangis dan meronta dalam pelukan saya. Ada rasa khawatir (dan ge-er) kalau orang lain nggak akan bisa menenangkannya sebaik saya :p.
Tapi Alhamdulillah semua berjalan baik. Suami saya mampu menghandle Haqqi, dan semua terapi selama seminggu ini berlangsung dengan sukses. Terakhir saya dengar cerita, Haqqi tertidur lelap dipangkuan ayahnya diparuh akhir waktu terapi.
Ternyata saya bisa mempercayai suami saya! :). Mungkin sama seperti ibu saya sangat percaya pada ayah saya waktu itu.
11 previous comments
No comments:
Post a Comment