Tuesday, July 14, 2009

Kumite

Beberapa sahabat pernah melontarkan pertanyaan separo retoris seperti ini:
“kalau tahu tidak ada jaminan akan bahagia & tidak disakiti, kenapa juga harus menikah?”
“sebenarnya untuk apa sih menikah, kalau tau hanya mengundang masalah-masalah baru?”
“bukannya lebih enak being single ya? Gak tergantung siapa-siapa, dan belum tentu tidak lebih bahagia daripada yang menikah”

Tentu saja mereka yang punya pertanyaan (atau pendapat) seperti ini berstatus single alias belum menikah. Kalimat2 itu terlontar ketika mereka menyaksikan kejadian2 menyedihkan seputar pernikahan, di televisi maupun yang ‘nyata’ terjadi pada orang-orang terdekat kita.
Saya cuma bisa nyengir karena nggak punya jawaban yang tepat. Tapi saya punya satu analogi asal-asalan yang barangkali mendekati jawabannya.

Dalam dunia beladiri, katakanlah karate, ada tingkatan-tingkatan yang harus dilalui oleh seorang karateka. Tingkatan mereka ditandai dengan warna sabuk yang mengikat pinggang mereka. Setiap kali akan naik tingkat dan menganti warna sabuk yang lebih tinggi, mereka diwajibkan untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat. Semakin tinggi tingkatan yang akan diraih tentu saja ujiannya semakin berat.

Dimulai pada saat ujian pengambilan sabuk hijau, salah satu ujian yang harus dihadapi oleh karateka bersabuk kuning adalah bertanding satu lawan satu, kumite istilahnya. Pada saat kumite selain kemampuan fisik, mental yang kuat dan berani juga harus dimiliki. Saya ingat salah seorang teman Hafizh, yang bersembunyi pada saat kumite akan dimulai pada waktu ujian pengambilan sabuk hijau. Takut. Gimana kalau kena tsuki (pukulan) atau kena geri (tendangan). Alhasil waktu itu perlu bujukan penuh dari Sempai (guru karate) sampai akhirnya dia mau juga mengikuti kumite.

Sebenarnya nggak apa-apa bukan kalau tidak ikut kumite? Daripada badan bonyok-bonyok? Tetap bersabuk kuning aja selamanya, yang penting kan dunia tentram, toh dengan bersabuk kuning tetap bisa terus berlatih karate dan badan tetap sehat?.

Ya nggak apa-apa juga sih. Tapi seandainya seorang karateka selalu rajin berlatih, mengikuti semua petunjuk Sempai, mengikuti semua peraturan dalam karate, pasti kumite dapat dilalui dengan baik tanpa harus terjadi cidera berat pada kedua pihak. Bahkan keduanya bisa lulus dengan baik dan berhak mengenakan sabuk yang baru.
Naik tingkat. Mendapat sertifikat sah, diakui oleh dunia beladiri sebagai karateka sejati, dan yang pasti mendapat kepuasan batin karena bisa melewati ujian dengan baik.

Ah, tapi saya memang belum punya kapasitas untuk memberikan jawaban atas semua pertanyaan diatas, bahkan sekedar analogi asal-asalan seperti ini rasanya tidak memuaskan, bahkan bagi hati saya sendiri :D.

Pada akhirnya saya hanya bisa berdoa, semoga Allah SWT memberi kemudahan kepada para sahabat yang belum menikah untuk segera menyempurnakan sebagian agamanya, menjadikan pernikahan untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan menaikkan derajatnya di hadapan penciptanya.

7 Juli 2009
ditulis di hari milad pernikahan ke-9, special untuk 'pasangan kumite'-ku ;)
semoga SangMahaGuru senantiasa membimbing kita dalam menempuh setiap ujian dalam pernikahan. amiin...

2 comments:

Anonymous said...

nice writing mb .... sukaaaaa ;)

sekali lg, selamat milad ya mb, insyaAllah selalu dalam ridhoNya dlm menghadapi setiap suka duka perjalanan ini, amin.

-hugs fr bunda s&h-

Ratih said...

Amiin ya Robbal'alamiin..
Doa yang sama buat buat AyBun-nya ShafaHafiz, kan deketan tanggal miladnya ;)